Oleh: Abu Muawiah Al-Makassari
Pentingnya Mengetahui Makna Kalimat Tauhid
Mengetahui makna kalimat yang mulia ini merupakan salah satu prinsip
yang sangat mendasar pada akidah seorang muslim. Bagaimana tidak, karena
jika seseorang mengucapkan kalimat tauhid ini maka dia tidak akan bisa
melaksanakan konsekuensinya sebelum mengetahui apa maknanya, serta dia
tidak akan mendapatkan berbagai keutamaan kalimat yang mulia ini sampai
dia mengetahui apa maknanya, mengamalkannya dan meninggal di atasnya.
Allah berfirman :
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak
dapat memberi syafa`at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at
ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dalam keadaan mereka
mengetahui(nya)”. (QS. Az-Zukhruf: 86)
Dan Rasulullah telah menegaskan dalam hadits Utsman bin Affan :
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengatahui bahwa
sesungguhnya tiada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah maka akan
masuk surga”. (HR. Muslim no. 26)
Penjabaran Makna Kalimat Tauhid
Oleh karena itu, berikut penjelasan secara singkat mengenai makna kalimat tauhid yang mulia ini :
Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu : kata (laa), kata (Ilaha), kata (illa) dan kata (Allah). Adapun secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut :
- Laa adalah nafiyah lil jins (meniadakan keberadaan semua jenis kata benda yang datang setelahnya). Misalnya perkataan orang Arab, “Laa rojula fid dari” (tidak ada laki-laki dalam rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga laa dalam
kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis penyembahan dan
peribadahan yang haq dari siapapun juga kecuali kepada Allah .
- Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) sehingga dia bermakna ma`luh () yang artinya adalah ma’bud , sementara ma’bud sendiri bermakna yang diibadahi atau yang disembah. Hal itu karena (alaha) maknanya adalah ‘abada, sehingga makna ma’luh adalah ma’bud. Hal ini sebagaimana dalam bacaan Ibnu ‘Abbas terhadap ayat 127 pada surah Al-A’raf:
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun):
“Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di
negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilahatahmu (peribadatan kepadamu)?”.
Ilahataka (ilahatahmu) yaitu peribadatan kepadamu, karena
Fir’aun itu disembah dan tidak menyembah. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu
‘Abbas memahami bahwa kata ilahah artinya adalah ibadah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Al-ilah adalah yang disembah
lagi ditaati.” Dan Ibnu Al-Qayyim berkata, “Al-ilah adalah Siapa yang
disembah oleh hati-hati para hamba dengan kecintaan, pengagungan,
taubat, pemuliaan, pembesaran, kehinaan, kerendahan, takut, harapan, dan
tawakkal.” Lihat Fath Al-Majid hal. 53
- Illa (kecuali). Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula fid dari illa Muhammad (tidak ada seorang pun lelaki di dalam rumah kecuali Muhammad). Yakni Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan (dikecualikan) dari hukum sebelum illa,
yaitu hukum peniadaan semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga
maknanya adalah: Tidak ada satupun jenis laki-laki di dalam rumah
kecuali Muhammad. Dan jika menerapkan hal ini dalam kalimat tauhid di
atas, makna maknanya adalah: Hanya Allah yang diperkecualikan dari
seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa sebelumnya.
- Lafazh “Allah”, berasal dari kata al-Ilah (), Kemudian huruf hamzah yang berada di tengah sengaja dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan (digabungkan) pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid, dan lam yang kedua diucapkan tebal. Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-Kasa`i, Al-Farra`, dan Sibawaih.
Adapun maknanya, berkata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin (1/18), “Nama ‘Allah’ menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan, dan ketundukan”.
Lafazh ‘Allah’ adalah nama bagi Ar-Rabb Ta’ala, yang mana
seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepadanya,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Al-Qayyim . Karenanya sangat
agungnya nama ini, tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan
atau yang boleh bernama dengan nama ‘Allah’.
Kemudian dari perkara yang paling penting diketahui bahwa Laa ini
-sebagaimana yang telah diketahui oleh semua orang yang memiliki ilmu
bahasa Arab-membutuhkan isim dan khobar sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Malik dalam Alfiyahnya :
“Jadikan amalan inna (menashab isim dan merafa’ khobar) untuk laa bila isimnya nakirah”.
Isim laa adalah kata ilaha dan dia nakirah. Adapun
khobarnya, maka disinilah letak perselisihan manusia dalam penentuannya,
sebagaimana yang akan disebutkan sebagian di antaranya pada pembahasan
mengenai pemaknaan yang keliru dari kalimat tauhid ini, insya Allah.
Adapun yang dipilih oleh para ulama as-salaf secara keseluruhan
adalah bahwa khobarnya (dihilangkan), dan mereka menyatakan bahwa dia
sengaja dihilangkan karena maknanya sudah jelas. Ringkasnya, para ulama
as-salaf telah bersepakat bahwa yang kata yang dihilangkan -yang menjadi
khabar bagi laa-adalah kata haqqun atau bihaqqin (yang berhak disembah). Mereka berlandaskan pada firman Allah Ta’ala dalam surah Luqman ayat 30:
“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak (untuk disembah) dan
apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang
batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Dan mirip dengannya dalam
surah Al-Hajj ayat 62.
Maka dari seluruh penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna kalimat tauhid ‘laa ilaaha illallah’ adalah:
Tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Maka
kalimat tauhid ini menunjukkan akan penafian/penolakan/peniadaan semua
jenis penyembahan dan peribadatan dari semua selain Allah Ta’ala, apa
dan siapapun dia. Serta penetapan bahwa penyembahan dan peribadahan
dengan seluruh macam bentuknya -baik yang zhohir maupun yang batin-hanya
ditujukan kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena
itu semua yang disembah selain Allah Ta’ala memang betul telah disembah,
akan tetapi dia disembah dengan kebatilan, kezholiman, pelampauan
batas, dan kesewenang-wenangan.
Nabi bersabda:
“Kalimat yang paling benar yang dikatakan seorang penyair adalah
kalimat yang dikatakan oleh Labid. Dia bersya’ir; “Segala sesuatu selain
Allah adalah bathil”. (HR. Al-Bukhari no. 3841 dan Muslim no. 6147)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Wushabi berkata di awal Al-Qaul Al-Mufid, “Makna ‘laa ilaha illallah’ adalah
tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah. Dan selain Allah ,
jika dia disembah maka sungguh dia telah disembah dengan kebatilan.”
Ucapan Ulama Dalam Masalah Ini
Inilah makna yang dipahami oleh orang-orang Arab -yang mukmin maupun yang kafirnya- tatkala mereka mendengar perkataan laa ilaha illallah sebagaimana yang akan datang penjelasannya insya Allah Ta’ala.
Berikut sebagian perkataan para ulama yang menunjukkan benarnya makna yang kami sebutkan di atas:
- Imam negeri Yaman, Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani berkata dalam Tathhir Al-I’tiqad hal. 18, “Maknanya adalah mengesakan Allah dalam ibadah dan penyembahan, dan berlepas diri dari semua sembahan selain-Nya.”
- Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata di awal risalah dimana beliau menjawab pertanyaan tentang makna ‘laa ilaha illallah’,
“Maka ketahuilah bahwa kalimat ini terdiri dari penafian dan penetapan,
yaitu penafian sembahan dari selain Allah Ta’ala dari kalangan para
makhluk, walaupun itu Muhammad dan juga Jibril, terlebih lagi dari
selain mereka dari kalangan para nabi dan orang-orang saleh.”
Beliau juga berkata, “Maknanya (laa ilaha illallah) adalah tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah. ‘Laa ilaha’ adalah penafian semua yang disembah selain Allah, dan ‘illallah’ adalah
penetapan ibadah hanya untuk Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya
dalam peribadatan kepada-Nya sebagaimana tidak ada sekutu bagi-Nya dalam
kekuasaan-Nya.” (Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 71)
- Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh berkata dalam Fath Al-Majid hal. 132, “Maka kalimat keikhlasan ‘laa ilaha illallah’ ini
menafikan semua kesyirikan dalam ibadah apapun juga dan menetapkan
ibadah dengan seluruh bentuknya hanya untuk Allah Ta’ala semata.”
- Al-Wazir Abu Al-Muzhoffar berkata dalam Al-Ifshah, “Lafazh “Allah” sesudah “illa” menunjukkan
bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, sehingga
tidak ada (seorangpun) selain dari Allah I yang berhak mendapatkannya
(penyembahan itu)”.
- Ibnu Al-Qayyim berkata, “Ini (laa ilaha illallah) adalah
kalimat teragung, yang mengandung penafian sifat ilahiah (yang berhak
disembah) dari selain Allah dan penetapan sifat khusus tersebut hanya
untuk-Nya.”
- Ibrahim bin Umar Al-Baqa’i berkata, “Kalimat ‘laa ilaha illallah’ adalah penafian yang agung terhadap adanya sembahan yang berhak untuk disembah selain Al-Malil Al-A’zham (Raja Terbesar).”
Setelah menukil tiga ucapan terakhir di atas, Asy-Syaikh Abdurrahman
bin Hasan menukil komentar Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah atas ketiga
ucapan tersebut, “Penafsiran seperti ini banyak ditemukan dalam ucapan
para ulama dan dalam nukilan ijma’ dari mereka.” Lihat Fath Al-Majid
hal.52-54
Rukun Kalimat Tauhid
Dari nukilan ucapan para ulama di atas, kita bisa mengetahui bahwa kalimat ‘laa ilaaha illallah’ mengandung
dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya
syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut:
Pertama: An-nafyu (penafian/penolakan/peniadaan) yang terkandung dalam kalimat ‘laa Ilaaha’.
Yaitu menafikan, menolak, dan meniadakan seluruh sembahan yang berhak
untuk disembah selain Allah , bagaimanapun jenis dan bentuknya dari
kalangan makhluk. Baik yang masih hidup apalagi yang sudah mati, baik
malaikat yang terdekat dengan Allah maupun rasul yang terutus, terlebih
lagi makhluk yang derajatnya di bawah keduanya.
Kedua: Al-itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat ‘illallah’.
Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir -seperti sholat, zakat,
haji, dan menyembelih-maupun yang batin -seperti tawakkal, harapan,
ketakutan, dan kecintaan-seluruhnya hanya untuk Allah semata. Baik yang
berupa ucapan seperti zikir, membaca Al-Qur’an, berdoa dan sebagainya,
maupun yang berupa perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat,
tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain, semuanya hanya untuk Allah
semata.
Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun
itu atau kedua-duanya tidak terlaksana. Misalnya ada orang yang hanya
meyakini Allah itu berhak disembah (hanya menetapkan) tetapi juga
menyembah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah
(tidak menafikan). Maka dengan keyakinannya ini dia belumlah dianggap
masuk ke dalam Islam, bahkan dia masih dikategorikan ke dalam
orang-orang yang berbuat kesyirikan.
Berikut penyebutan beberapa ayat Al-Qur`an yang menerangkan dua rukun ‘laa ilaha illallah’ ini:
Allah berfirman:
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman
kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah: 256).
Allah berfirman:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, tetapi (aku
menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi
hidayah kepadaku”. (QS. Az-Zukhruf : 26-27)
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”. (QS. An-Nisa`: 36)
Kaum Musyrikin Memahami Makna Ini
Inilah kesimpulan makna dari kalimat tauhid yang agung dan mulia ini.
Makna inilah yang dipahami oleh para shahabat dan para ulama yang
datang setelah mereka sampai hari ini. Bahkan makna inilah yang diyakini
dan dipahami oleh kaum musyrikin Quraisy di zaman Nabi semisal Abu
Jahl, Abu Lahab, dan selainnya. Allah berfirman tentang mereka:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa
ilaaha illallah” (Tiada sembahan yang berhak disembah melainkan Allah)
mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: Apakah sesungguhnya kami
harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”.
(QS. Ash-Shaffat: 35-36)
Perhatikan jawaban mereka ketika disuruh mengucapkan kalimat tauhid!
Mereka menjawab, “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami.” Maka ini jelas menunjukkan bahwa yang mereka
pahami dari makna kalimat tauhid adalah harusnya meninggalkan semua
sembahan selain Allah (an-nafyu).
Perhatikan juga komentar mereka tentang kalimat tauhid ini:
“Apakah dia (Muhammad) menjadikan sembahan-sembahan yang banyak
itu menjadi sembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan”. (QS. Shad: 5)
Mereka lagi-lagi memahami bahwa makna dari kalimat tauhid ini adalah
menetapkan bahwa hanya Allah sendiri yang berhak untuk disembah (al-itsbat).
Maka cermatilah kedua ayat ini -semoga Allah merahmatimu-, bagaimana
jawaban kaum musyrikin tatkala diperintah mengucapkan kalimat tauhid,
spontan mereka menolak karena sangat mengetahui apa makna dan
konsekwensi kalimat ini. Yaitu harusnya meninggalkan semua sembahan
mereka dan menjadikannya hanya satu sembahan yaitu hanya Allah . Maka
betapa celakanya seseorang yang mengaku muslim yang Abu Jahl lebih tahu
dan lebih faham tentang makna ‘laa ilaha illallah’ daripada dirinya. Wallahul musta’an.
Keutamaan Kalimat Tauhid
Sebelum kami menyebutkan beberapa keutamaannya, perlu kami ingatkan
bahwa semua keutamaan tersebut tidaklah didapatkan oleh seseorang hanya
dengan sekedar mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Akan tetapi
dia akan mendapatkan semua keutamaan tersebut jika dia mengucapkannya
serta melaksanakan konsekuensinya sesuai dengan apa yang telah kami
jelaskan sebelumnya. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata di
awal risalah dimana beliau menjawab pertanyaan tentang makna ‘laa ilaha illallah’,
“Bukan yang diinginkan dari kalimat tauhid ini adalah sekedar
mengucapkannya tanpa memahami apa maknanya. Karena orang-orang munafik
juga mengucapkan kalimat tauhid ini akan tetapi tempat mereka lebih
rendah dari orang-orang kafir, yaitu di dasar neraka yang paling bawah,
padahal mereka adalah orang-orang yang mengerjakan shalat dan
bersedekah. Akan tetapi yang diinginkan darinya adalah mengucapkannya
dalam keadaan mengetahuinya (makna dan konsekuensinya) dengan hati,
mencintainya dan mencintai semua orang yang mengucapkannya, serta
membenci dan memusuhi semua yang bertentangan dengannya.”
Berikut beberapa keutamaan dan manfaat dari kalimat ‘laa ilaha illallah’ -bagi yang mengucapkannya dengan benar dan melaksanakan konsekuensinya-:
Dari Ubadah dari Nabi beliau bersabda:
“Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak kecuali Allah satu-satunya dengan tidak menyekutukan-Nya dan
bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya dan (bersaksi) bahwa ‘Isa
adalah hamba Allah, utusan-Nya dan firman-Nya yang Allah berikan kepada
Maryam dan ruh dari-Nya, dan surga adalah haq (benar adanya), dan
neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkan orang itu ke dalam surga
betapapun keadaan amalnya”. (HR. Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 46)
Dalam hadits Itban bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan neraka bagi orang orang
yang mengucapkan dengan ikhlas dan hanya mengharapkan (pahala melihat)
wajah Allah”. (HR. Al-Bukhari no. 425 dan Muslim no. 263)
Dari Ibnu Abbas dia berkata: Ketika Rasulullah mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab,
maka ajaklah mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka
mentaatimu untuk hal tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu pada setiap siang
dan malam. Jika mereka mentaatimu untuk hal tersebut maka
beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka
sedekah yang diambil dari orang kaya mereka lalu dibagikan kepada
orang-orang fakir di antara mereka. Jika mereka mentaatimu untuk hal
tersebut maka kamu jauhilah harta mulia mereka. Takutlah kamu terhadap
doa orang yang terzhalimi, karena tidak ada penghalang antara dia dan
Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 4347 dan Muslim no. 29)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 37 bahwa Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang mengucapkan , dan
mengingkari sesembahan selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya,
adapun perhitungannya adalah terserah kepada Allah”.
Maka dari semua dalil-dalil di atas bisa kita petik beberapa keutamaan kalimat tauhid ini:
1. Dia merupakan tujuan dakwah yang pertama dan terbesar, baik dakwah
para nabi maupun para pengikut mereka dari kalangan para sahabat mereka
dan pengikut mereka.
2. Dia merupakan sebab terbesar masuknya seseorang ke dalam surga.
Karenanya barangsiapa yang mengucapkannya di akhir hidupnya maka dia
akan masuk surga. dari Mu’adz bin Jabal , ia berkata; Rasulullah
bersabda:
“Barangsiapa yang akhir perkataannya (sebelum meninggal dunia) ‘laa ilaha illallah’ maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud no. 2709)
3. Dia bisa menghapuskan semua dosa, sebesar apapun dosanya. Di antara dalil terbesar yang menunjukkan hal ini adalah hadits al-bithaqah (kartu kecil) yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash .
4. Dia merupakan jaminan untuk tidak kekal di dalam api neraka, kalau ternyata seseorang masuk ke dalamnya.
5. Dia merupakan kalimat paling berberkah dan menjadi syarat seseorang masuk Islam.
Karenanya barangsiapa yang mengucapkannya maka dia mendapatkan hak
seorang muslim, di antaranya bahwa harta, darahnya, dan kehormatannya
haram untuk diganggu.
Wallahu Ta’ala A’lam, washallallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajmain.
(Majalah AKHWAT Vol.1/1431/2010)
Tags:
Fiqh