بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله ومن والاه ، وبعد
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah !
Fitrah manusia adalah selalu mencari
figur yang akan mereka teladani dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena
yang demikian sangat jelas terlihat pada komunitas anak-anak muda.
Mereka memang sedang berada pada masa mencari jati diri, sehingga sangat
membutuhkan figur yang pantas mereka teladani. Namun sangat
disayangkan, mayoritas figur yang mereka pilih, sangat jauh sekali dari
tuntunan agama. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki timbangan
dan filter yang benar di dalam menyaring figur yang tepat. Sementara
kita semua mengetahui bahwasanya Islam adalah agama yang sempurna.
Demikian pula Al-Qur’an sebagai kalamullah yang Allah turunkan kepada
nabi-Nya, telah menjelaskan semua perkara yang akan memberikan
kemanfaatan bagi manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah, teladan yang baik.” [QS. Al-Ahzab: 21]
Ini merupakan rekomendasi dan jaminan
pasti dari Dzat Yang Maha Mengetahui, bahwa pada diri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terdapat sekian keteladanan yang
sepatutnya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
alangkah baiknya kalau kita meluangkan waktu barang sejenak untuk
mempelajari tuntunan-tuntunan nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam, sehingga langkah kita akan terbimbing di atas ilmu.
Dan diantara tuntunan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang patut kita contoh pada masa sekarang –
dimana norma-norma kesusilaan tidak lagi diindahkan oleh manusia –
adalah menumbuhkan sifat malu.
Definisi Malu
Para pembaca yang berbahagia !
Malu adalah sifat yang tertanam pada
jiwa, yang akan membawa seseorang untuk melakukan perbuatan yang baik
dan meninggalkan perbuatan yang buruk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
الحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” [Muttafaqun 'alaih]
Sifat malu merupakan sebab bertambahnya
iman dan perhiasan akhlak seorang muslim. Alkisah, dahulu ada seorang
laki-laki yang mencerca saudaranya karena sifat malunya tersebut.
Menurutnya sifat malu itu adalah aib. Tatkala Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam melewati mereka, beliau menegur laki-laki tersebut :
دَعهُ، فَإِنَّ الحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya malu adalah bagian daripada iman.” [HR. Al-Bukhari]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kembali menegaskan :
الإِيمَانُ بِضعٌ
وَسَبعُونَ – أَو بِضعٌ وَسِتُّونَ – شُعبَةً، فَأَفضَلُهَا قَولُ لاَ
إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَدنَاهَا إِمَاطَةُ الأذَى عَنِ الطَّرِيقِ،
وَالحَيَاءُ شُعبَةٌ مِنَ الإِيمَان
“Iman itu ada 70 sekian cabang atau
60 sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Laa Ilaha Illallah.
Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan
malu itu adalah sebagian dari iman.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Tatkala rasa malu pada jiwa
seseorang telah dicabut, ia akan merasa tenang dan santai dalam
melakukan perbuatan maksiat. Dan bahkan timbul rasa bangga tatkala
melakukannya. Tingkah lakunya mirip hewan liar yang hidup tanpa aturan.
Seks bebas (zina), homoseks, minum-minuman keras, perjudian, pembunuhan,
berpakaian ketat atau membuka aurat, korupsi, penipuan dan
kejahatan-kejahatan lainnya. Na’udzubillah min dzalika.
Ini merupakan suatu fenomena yang
terbalik, di satu sisi tidak malu untuk melakukan perbuatan maksiat
namun di sisi lain malu untuk menerapkan tuntunan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh benar apa yang
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya dari apa yang
didapatkan oleh manusia pada ucapan kenabian yang pertama adalah apabila
engkau tidak punya rasa malu, maka lakukan sesukamu.” [HR. Al-Bukhari]
Kalimat : Apabila engkau tidak punya rasa malu, maka lakukan sesukamu ada 3 penafsiran:
1. Perintah yang bermakna ancaman keras. Artinya adalah “apabila seseorang tidak punya rasa malu, maka silakan lakukan sesukamu, niscaya Allah akan membalas perbuatanmu.”
2. Perintah yang bermakna pemberitaan. Artinya adalah “apabila
seseorang tidak punya rasa malu, maka ia akan melakukan perbuatan
sekehendaknya. Yang demikian karena sifat malu merupakan penghalang dari
melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk”.
3. Perintah yang bermakna pembolehan yaitu “apabila
engkau ingin melakukan sesuatu yang tidak dituntut rasa malu pada Allah
dan manusia ketika melakukan perbuatan tersebut, maka lakukanlah. Namun
kalau dituntut rasa malu pada Allah dan manusia ketika melakukan
perbuatan tersebut maka jangan lakukan”.
Al-Imam Ibnu Baththal menjelaskan, bahwa
penafsiran pertama dan kedua adalah lebih tepat karena makna yang
demikian lebih umum didalam bahasa arab.
Pembagian Malu
Ketahuilah, bahwa malu terbagi menjadi 2 jenis :
1. Sifat pembawaan sejak lahir. Ini
merupakan anugerah mulia dari Allah kepada hamba-hamba yang
dikehendaki-Nya. Sehingga orang yang demikian tidaklah berbicara dan
berbuat kecuali seperlunya saja karena dirinya merasa malu.
2. Sifat yang diupayakan untuk
dimilikinya. Hal ini dilakukan pada seseorang yang asalnya tidak
memiliki sifat malu. Lisannya banyak bicara, tidak bisa menyaring
kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan dan perbuatannya banyak
tingkah, suka mencari perhatian orang lain. Kemudian ia pun sadar dan
berusaha menghilangkan kebiasaan tersebut serta terus melatih jiwanya
untuk bersifat malu.
Yang paling utama adalah jenis pertama
dengan catatan pengamalannya harus sesuai dengan timbangan syariat.
Sehingga tetap dibutuhkan adanya upaya, ilmu dan niat agar sesuai dengan
tuntunan syariat. Akan tetapi bila dibandingkan dengan jenis kedua,
upaya yang dilakukan pada jenis pertama adalah lebih mudah.
Ditinjau dari masalah hak, malu juga terbagi 2 :
1. Malu yang berkaitan dengan hak Allah
‘Azza wa Jalla. Yaitu seseorang malu kalau Allah melihatnya melakukan
maksiat dan meninggalkan perintah-Nya.
2. Malu yang berkaitan dengan hak makhluk. Yaitu ia tidak melakukan perbuatan yang dapat menodai akhlak dan kewibawaannya.
Kedudukan Malu
1. Merupakan syariat dan akhlak para nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya dari apa yang
didapatkan oleh manusia pada ucapan kenabian yang pertama adalah apabila
engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” [HR.
Al-Bukhari]
Hadits ini menerangkan bahwa sifat malu merupakan akhlak para nabi dan umat-umat terdahulu.
2. Merupakan syariat dan akhlak nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan :
كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِي
خِدْرِهَا فَإِذَا رَأَى شَيْئًا – يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
“Bahwasanya nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam adalah orang yang sangat pemalu, melebihi seorang gadis yang
berada dalam pingitan. Maka apabila beliau melihat sesuatu yang tidak
disukai, kami mengetahuinya melalui raut wajah beliau.” [Muttafaqun
'alaih]
Al Imam An-Nawawi rahimahullah
menjelaskan bahwa makna hadits ini adalah beliau tidak pernah
mengomentari sesuatu yang tidak disukai, karena beliau pemalu. Akan
tetapi yang berubah adalah raut wajah beliau. Dari sinilah para shahabat
mengetahui ketidaksukaan beliau.
Malu Yang Tercela
Malu selamanya merupakan sifat yang
terpuji selama tidak membawa pelakunya melalaikan atau meninggalkan
hak-hak Allah ‘Azza wa Jalla, seperti menuntut ilmu, memakai jilbab bagi
wanita, shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki, membiarkan jenggot,
dsb. Atau selama tidak menjerumuskan pelakunya kepada perkara yang
haram.
Teladan Salaf
Umar bin Khattob radhiyallahu ‘anhu mengatakan :
مَنِ اسْتَحْيَا، اخْتَفَى، وَمَنِ اخْتَفَى، اتَّقَى، وَمَنِ اتَّقَى وُقِيَ
“Barangsiapa yang bersifat malu, ia
akan menghindar (dari perbuatan tercela). Dan barangsiapa yang
menghindar (dari perbuatan tercela) berarti ia bertakwa (kepada Allah).
Dan barangsiapa yang bertakwa (kepada Allah), ia akan dilindungi.”
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan :
الْحَيَاءُ وَالْإِيمَانُ فِي قَرَنٍ، فَإِذَا نُزِعَ الْحَيَاءُ، تَبِعَهُ الْآخَرُ
“Sifat malu dan iman adalah dua sejoli, maka apabila sifat malu dicabut, pasangannya pun akan mengikutinya.”
Al-Jarrah bin Abdillah Al Hakami radhiyallahu ‘anhu mengatakan :
تَرَكْتُ الذُّنُوبَ حَيَاءً أَرْبَعِينَ سَنَةً، ثُمَّ أَدْرَكَنِي الْوَرَعُ
“Aku meninggalkan dosa-dosa karena malu selama 40 tahun. Kemudian aku mendapatkan sifat al-wara’.”
Pertanyaan Dan Jawaban
1. Kita telah mengetahui dari sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa sifat malu itu tidaklah
mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Dan disebutkan pula dalam hadits
yang lain, bahwa sifat malu itu semuanya baik. Namun kita juga menyadari
bahwa terkadang sifat malu telah membawa seseorang untuk melalaikan
hak-hak Allah dan manusia atau menjerumuskan kepada perkara yang haram.
Maka bagaimana kita mengompromikan kedua hal yang terkesan bertentangan ini ?
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjawab :
Yang dimaksud dengan malu sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadits adalah malu yang syar’i. Adapun malu yang
menyebabkan pelakunya melalaikan hak-hak (Allah dan manusia), maka ini
adalah malu yang tidak syar’i, yang hakikatnya adalah kerendahan,
kehinaan dan kelemahan (minder) pada jiwanya. Hanya saja mengapa disebut
dengan malu karena ada kemiripannya dengan malu yang syar’i.
2. Mengapa sifat malu dikatakan sebagian daripada iman ?
Al-Imam Al ‘Aini rahimahullah menjawab :
Karena dengan sifat malu, akan
membangkitkan jiwa seseorang untuk beramal kebaikan dan akan menghalangi
dirinya dari perbuatan maksiat. Dan sifat malu itu terkadang ada yang
timbul dengan sebab upaya sebagaimana upaya dalam beramal kebaikan dan
ada pula yang berupa sifat bawaan sejak lahir. Akan tetapi penerapannya
dalam timbangan syar’i juga membutuhkan adanya upaya dan niat, oleh
karena itulah sifat tersebut merupakan bagian daripada iman.
Daftar Pustaka :
1. Syarh Riyadhush Shalihin : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
2. Jami’ul Ulum wal Hikam : Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali
3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
4. Syarh Shahih Al-Bukhari : Al-Imam Ibnu Baththal
5. Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari : Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
6. Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari : Al-Imam Al-’Aini
7. Dalilul Falihin Li Thuruqi Riyadhush Shalihin : Ibnu ‘Allan Ash Shiddiqi
8. Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih : Mulla Ali Al-Qari
Disusun oleh : Al Ustadz Abu Abdirrahman Muhammad Rifqi
Muroja’ah : Al Ustadz Mustofa Al Buthony
sumber : buletin Al Qudwah
Tags:
Fiqh